Senin, 06 Desember 2010

Tender Panas Bumi Mulai Panas

Di kantor Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). baru aja ada tender atas 20 blok migas dan 12 blok mendapat peminat banyak. Kini, tender lain juga bakal digelar.

Yang bakal dilelang sekarang adalah wilayah penghasil sumber energi yang dapat diperbarui; panas bumi. Jika tak ada aral melintang, tender blok panas bumi itu akan dilakukan pada 14 wilayah kerja baru. ”Setengahnya akan segera ditenderkan. Mungkin Maret ini, atau April” kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.

Panas bumi adalah sumber energi masa depan. ”Potensinya sangat menjanjikan,” kata Kepala Badan Geologi Departemen ESDM Bambang Dwiyanto. Bayangkan saja, sumber daya ini sifatnya terbarukan, pun ramah lingkungan. Limbahnya saja hanya berupa air. Jadi, tak akan ada atmosfer dan udara yang tercemar. Penggunaan energi panas bumi juga bisa meminimalkan pemakaian bahan bakar yang berasal dari fosil (minyak bumi, gas, dan batu bara). Kita tahu, energi fosil itu tak terbarukan. Harganya juga sudah semakin mahal. Dalam beberapa puluh tahun lagi, cadangannya mungkin akan habis. Di Indonesia, selama ini fluktuasi harga minyak terbukti selalu menciptakan efek berantai.

Nah, jika sumur panas bumi (geotermal) nanti mulai memproduksi listrik, maka ketergantungan pada sumber alam lain yang tak terbarukan tadi dapat ditekan. Artinya, akan banyak devisa yang dihemat karena berkurangnya impor minyak. Subsidi juga akan terkoreksi.

Eloknya lagi, potensi cadangan panas bumi kita juga dahsyat. Di seluruh dunia, potensi itu tercatat sebanyak 50 ribu megawatt. Dari sana, sekitar 40%-nya mengendap di lapisan kerak bumi di Indonesia. Angka itu, menurut data terbaru yang dilansir ESDM, setara dengan 27,5 Gigawatt (27.500 MW) atau 11 miliar barel minyak.

Jika dijabarkan dalam peta, sumber panas bumi di Indonesia tersebar di 256 lokasi. ”80%-nya terkait dengan aktivitas vulkanis, atau berada di sekitar kawasan gunung berapi,” kata Alimin Ginting, Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API). Sayang, hingga saat ini, baru tujuh wilayah (2,7 %) yang sudah dimanfaatkan (dieksploitasi).

Sebanyak 63,7% potensi panas bumi yang lain masih berada dalam tahap survei awal. Lantas, ada 30% yang sudah mengalami survei geologi. Sisanya, sebanyak 3,1% potensi panas bumi sudah dalam tahap eksplorasi. ”Jika dikonversi, sumber panas bumi yang sudah berhasil dimanfaatkan baru menghasilkan 807 MW. Masih sangat kecil,” kata Fabby Tumiwa, Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring (WGPSR).

Untunglah, kini akan ada tender atas 14 wilayah kerja baru—separuhnya (tujuh blok) akan segera digelar Maret atau April itu tadi. Tujuh blok yang bakal dilelang itu meliputi Blok Cisolok-Cisukarame di Jawa Barat (Jabar) dengan potensi 45 MW, Tangkuban Perahu (Jabar) sebanyak 220 MW, Tampomas (Jabar) sekitar 20-50 MW, Ungaran di Jawa Tengah (Jateng) sekitar 50 MW, Ngebel-Wilis di Jawa Timur sekitar 120 MW, Atadei (NTT) 40 MW dan Seulawah, Nanggroe Aceh Darussalam sekitar 160 MW.

Sisanya, yang akan ditenderkan belakangan, meliputi Jaboi (Aceh) 50 MW, Sekincau-Suwuh (Lampung) dengan potensi 264 MW (Sekincau) dan 238 MW (Suwuh), Marana (Sulteng) sekitar 40 MW, Suwawa (Gorontalo) 65 MW, dan Jailolo (Maluku Utara) 75 MW.

Lantas, mengapa ada perbedaan waktu dalam pelaksanaan tender ini? Sebenarnya itu lebih banyak dipengaruhi kendala teknis di lapangan. Seperti soal pembebasan lahan yang belum tuntas atau persoalan izin dari pemerintah daerah dan instansi lain yang terkait.

Di wilayah kerja Sekincau-Suwuh, misalnya. Persoalan muncul karena lokasi wilayah berada di dalam Taman Nasional Bukit Barisan. Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2003, lahan tersebut baru boleh ditambang jika ada izin dari Departemen Kehutanan.


HARGA KEEKONOMIAN CUMA MITOS?

Persoalannya sekarang, akankah tender itu bakal menarik minat investor? Soalnya, bukan apa-apa, investasi di bidang ini acap kali tak sebanding dengan potensi pendapatannya. Paling tidak, itu kata sebagian geologis dan pelaku dunia usaha.

Alimin Ginting, menuturkan, risiko kegagalan eksplorasi di bidang geotermal cukup besar. Sering kali pengusaha harus menggali di banyak tempat dengan hasil yang tidak selalu memuaskan. Dan kalaupun cadangan itu sudah diketemukan, tantangan berikutnya adalah kondisi geologis dari wilayah tambang itu sendiri.

Kondisi geologis ini cukup berpengaruh pada jumlah dan kualitas produksi. Malah setiap site mungkin akan berbeda-beda potensinya meski berada di blok yang sama. Karena itulah, perhitungan potensi awal energi panas bumi di suatu tempat sangat mungkin meleset. Sebuah sumur yang awalnya diperkirakan bisa diandalkan untuk lima tahun, misalnya, bisa saja hanya mempunyai usia produktif sekitar tiga tahun sehingga harus disiapkan sumur baru sebagai pengganti.

Faktor-faktor yang tak terhindarkan itu tentu berdampak pada biaya investasi, biaya operasional, dan perawatan lapangan, serta biaya pembangkit. Belum lagi risiko lain, seperti faktor politik dan kerawanan sosial di lokasi penanaman investasi. Ini memang masalah yang sensitif. Maklum, kontrak operasi tiap unit pembangkit panas bumi (PLTP) umumnya ditetapkan selama 30 hingga 40 tahun.

Sudah begitu, nilai keekonomian listrik yang dihasilkan oleh PLTP diperkirakan senilai US$ 6 sen sampai US$ 7 sen per kWh. Padahal, menurut Sukusen Soemarinda, Direktur Hulu Pertamina, harga jual listrik saat ini sebesar US$ 5 sen per kWh. Jika asumsi harga ini tak ditinjau ulang, sulit bagi investor mencetak laba. ”Bisa saja itu dipaksakan. Tapi kompensasinya investor diberi insentif-insentif lain,” tambah Alimin.

Tapi, boleh jadi asumsi harga keekonomian tadi hanyalah mitos. Buktinya, dalam tender pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sarulla di Sumatra Utara yang diadakan oleh PLN, PT Geo Dipa Energi tampil sebagai pemenang dengan penawaran harga US$ 4,455 sen per kWh.

Geo Dipa tentu tak mau merugi dalam proyek ini. Tapi, toh harga penawaran yang mereka ajukan berada jauh di bawah asumsi nilai keekonomian tadi. Dan Geo Dipa tidak sendirian. Dalam tender yang sama, PT Medco Energi Internasional Tbk. juga menawar jauh di bawah nilai keekonomian: US$ 4,642 sen.

Mekanisme tender itu sendiri, menurut Menteri Purnomo, tak jauh berbeda dengan tender blok migas. Setiap pemenang wajib melakukan eksplorasi paling lama tiga tahun setelah izin usaha pertambangan (IUP) diterbitkan—dengan hak perpanjangan paling banyak dua kali masing-masing selama setahun.

Lalu, studi kelayakan berlaku paling lama dua tahun sejak eksplorasi berakhir. Jika setelah studi kelayakan itu kontraktor tidak melaksanakan eksploitasi, maka IUP wajib dikembalikan kepada pemerintah. Jika kegiatan eksplorasi tak menemukan cadangan panas bumi seperti yang diperkirakan, maka itu semua juga menjadi urusan si kontraktor. Bedanya, pengelolaan blok panas bumi juga tidak mengenal istilah cost recovery. Yang diterapkan adalah aturan main soal nett operating income. Maksudnya, bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah baru bisa dilakukan jika blok sudah memberi keuntungan. Yang dimaksud menguntungkan di sini, investasi yang dikeluarkan selama proses eksplorasi sudah tertutupi. ”Jadi, selama rapor keuangan kontraktor masih merah, tidak ada bagi hasil,” kata Alimin.

0 komentar:

Posting Komentar